Judul :
Di Bawah Lindungan Ka’bah
Tahun
Terbit :
1979
Penerbit : Bulan Bintang, Jakarta
Cetakan
ke :
XIV
Kategori :
Dewasa
Jenis
Karangan : Karya Sastra
Indonesia
Bahasa : Bahasa Melayu
Alih
Bahasa : -
Jumlah
Halaman : 80 Halaman
Jumlah
Bab : 13 bab
Tebal
Buku : 0,5 cm
Luas
Buku : 150 cm2
Sinopsis
Dikisahkan
pada tahun 1927, ada seorang anak yang bernama Hamid. Semasa ia berusia 4 tahun, ayahnya telah
meninggal dunia. Setelah ayahnya wafat,
Hamid dan Ibunya masih dalam keadaan miskin melarat. Rumah tempat Hamid dan Ibunya tinggal
hanyalah sebuah rumah kecil yang tua.
Meskipun pada waktu itu Ibu Hamid masih muda, ada dua sampai tiga orang
berpangkat yang meminta Ibu Hamid menjadi isterinya, Ibu Hamid tetap menolak
dengan perasaan yang sangat terharu.
Hatinya masih belum lupa kepada almarhum Ayah Hamid. Ibu Hamid berjanji kepada Hamid bahwa ia akan
berusaha menyekolahkan Hamid di masa depan.
Setiap
pagi, Hamid menjual pisang goreng. Pada
suatu hari, saat Hamid berkeliling lingkungan rumah sekitarnya, ada sebuah
rumah besar berpekarangan yang cukup luas.
Rumah itu sudah lama tidak ada penghuninya, karena pemiliknya, seorang
Belanda, sudah pulang ke Eropa.
Tiba-tiba, rumah itu diperbaiki kembali, karena telah dibeli oleh
seorang saudagar yang bernama Haji Ja’far.
Pada
suatu pagi, Hamid melewati rumah itu sambil membawa barang jualannya berupa
pisang goreng. Kemudian ia berseru
menawarkan barang dagangannya itu.
Lama-lama tertariklah perempuan yang setengah tua itu hendak memanggil
jualan Hamid. Ternyata, perempuan itu
adalah isteri dari Haji Ja’far yang bernama Mak Asiah. Mak Asiah kemudian menanyakan Hamid tentang
bagaimana kondisinya sekarang ini.
Lalau, Mak Asiah meminta Ibu Hamid untuk bertemu dengannya. Meskipun Ibu Hamid malu-malu dan insyaf atas
kerendahan derajatnya, Mak Asiah sama sekali tidak meninggikan dirinya. Bahkan
Mak Asiah menganggap Ibu Hamid sebagai saudaranya sendiri.
Sejak
saat itu, Hamid pun sangat leluasa untuk datang ke rumah otu. Ia telah dianggap oleh Haji Ja’far sebagai
anaknya sendiri. Hamid juga mendapatkan
seorang adik baru yaitu anak perempuan tunggal Haji Ja’far yang bernama
Zainab.
Pada
suatu hari, Hamid menemui ibunya untuk memberitakan kabar gembira. Haji Ja’far akan menyekolahkan Hamid di
sekolah yang sama dengan Zainab. Hamid
dan Ibunya pun sangatlah gembira.
Cita-citanya telah tercapai.
Keesokan paginya, Hamid tidak lagi berjualan pisang goreng, melainkan
pergi ke sekolah bersama Zainab. Zainab
sangat takut apabila ia tamat sekolah karena ia harus menjalani masa pingitan.
Saat
yang ditakuti itupun datang. Dengan hati
riang bercampur masygul, Hamid terpaksa meninggalkan bangku sekolah. Riang karena Hamid bisa pergi untuk
melanjutkan sekolah keagamaan di Sumatera, masygul karena harus berpisah dengan
teman-temannya. Zainab sendiri, sejak
tamat sekolah, hanya tinggal di rumah saja.
Didatangkan baginya guru dari luar untuk mengajarkan berbagai kegiatan
yang biasanya dilakukan oleh perempuan seperti mencuci, menggosok, memasak,
merenda, dan sebagainya.
Beberapa
bulan kemudian, Hamid mampir mengunjungi rumah Zainab. Saat bertemu langsung dengan Zainab, Hamid
menjadi bingung. Ia tak tahu berkata
apa. Dahulu, Hamid tak pernah
mempedulikan soal cinta. Tapi, setelah
ia besar dan berpisah dengan Zainab, ia merasa sangat kehilangan. Hamid sering berpikir bahwa sangatlah
mustahil apabila Zainab juga akan membalas cintanya, karena, Hamid insyaf bahwa
ia hanyalah anak yang ditolong olehnya. Oleh
karena itu, ia memendam rasa cintanya pada Zainab di lubuk hati yang palin
dalam. Tapi, Hamid juga sering berpikir
bahwa kemustahilan itulah yang sering kali memupuk cinta.
Setelah
beberapa kemudian, tak disangka, ada sebuah musibah yang menimpa keluarga
Zainab. Ayah Zainab, Haji Ja’far,
meninggal dunia. Belum beberapa lama
setelah budiman itu menutup mata, Ibu Hamid terserang penyakit dada. Setiap hari, Hamid menjaga ibunya yang
berbaring sambil memegang tangannya.
Pada suatu saat, Ibu Hamid menegaskan Hamid bahwa Hamid cinta pada Zainab. Hamid pun masih merasa hal itu sangat
mustahil. Beberapa hari kemudian, Ibu
Hamid pun meninggal dunia dan Hamid menjadi sebatang kara.
Sejak
ibunya meninggal dunia, Hamid jarang sekali datang ke rumah Zainab. Pada suatu petang, Hamid diminta Mak Asiah
untuk datang ke rumahnya. Hamid pun
bertemu dengan Zainab. Tapi, lagi-lagi
Hamid tidak mampu berkata apa. Beberapa
menit kemudian, Mak Asiah pun datang dan berbicara kepada Hamid. Mak Asiah ingin menjodohkan Zainab dengan
anak dari temannya almarhum Haji Ja’far.
Mak Asiah meminta bantuan Hamid untuk membujuk Zainab agar mau
menikah. Dengan berat hari, Hamid
menerima tawaran itu. Ia lalu membujuk Zainab agar mau menikah. Akan tetapi, Zainab menolak. Zainab belum mau menikah. Setelah itu, Hamid pulang. Di jalan pulang, Hamid merasa badannya
seberti terbayang-bayang, dan tanak yang dipijak terasa bergoyang-goyang.
Hamid
telah putus asa atas hidupnya.
Kadang-kadang terlintas di dalam hati Hamid hendak membunuh diri. Karena tidak sanggup menanggung
beban hatinya, Hamid memutuskan untuk pergi meninggalkan kampungnya. Dia meninggalkan Zainab dan dengan diam-diam
pergi ke Medan. Sesampainya di Medan, dia
menulis surat kepada Zainab. Dalam suratnya, dia mencurahkan isi hatinya kepada
Zainab. Menerima surat itu, Zainab
sangat terpukul dan sedih. Dari Medan,
Hamid melanjutkan perjalanan menuju ke Singapura. Lalu ia mengembara ke
Bangkok, berlayar terus memasuki tanah-tanah Hindustan, dan dari Karakhi
berlayar menuju ke Basrah, masuk ke Irak, melalui Sahara Nejd dan akhirnya
sampailah Hamid di Tanah Suci Mekah.
Sewaktu
berada di Tanah Suci Mekah, di bawah lindungan Ka’Bah yang suci, dan terpisah
dari pergaulan manusia yang lain, Hamid memohon kepada Tuhan supaya ia bisa
bersabar dan berteguh hati dalam menghadapi kehidupan. Setiap malam, Hamid selalu duduk bertekun di
dalam Mesjidil Haram dan memanjatkan doa pada Tuhan.
Selama
ditinggalkan oleh Hamid, hati Zainab menjadi sangat tersiksa. Dia sering sakit dan semangat hidupnya terasa
berkurang menahan rasa rindunya yang mendalam pada Hamid. Begitu pula Hamid. Ia selalu gelisah karena menahan beban
rindunya kepada Zainab. Untuk membunuh
kerinduannya yang sangat mendalam itu, ia bekerja pada sebuah penginapan milik
seorang Syekh. Sambil bekerja, ia
memperdalam ilmu agamanya dengan tekun.
Setahun
telah berlalu. Ketika musim naik Haji,
banyak tamu yang menginap di tempat Hamid bekerja. Di antara para tamu yang akan menunaikan
ibadah Haji, Hamid bertemu dengan Saleh, teman Hamid sewaktu bersekolah agama. Betapa gembiranya Hamid saat bertemu dengan
sahabatnya itu. Selain sebagai teman
bermainnya pada masa lalu, istreri Saleh, Rosna, ternyata adalah sahabat
Zainab. Hamid mendapat banyak berita
tentang kampungnya dan juga tentang keadaan Zainab.
Dari
penuturan Saleh, Hamid mengetahui bahwa Zainab mencintainya juga. Sejak Hamid meninggalkan Zainab dan
kampungnya, Zainab sering sakit-sakitan.
Zainab menderita batin yang sangat mendalam. Zainab sering bercerita pada Rosna tentang Hamid
pada masa lalu. Zainab mengatakan bahwa
ia sangat mencintai Hamid meskipun banyak yang menertawakan ia. Akhirnya, Zainab tidak jadi menikah dengan
pemuda pilihan ibunya itu. Akan tetapi,
orang yang paling dicintainya yaitu Hamid telah pergi entah kemana. Setiap hari, Zainab selalu menunggu
kedatangan Hamid dengan penuh harap.
Mendengar
penuturan Saleh tersebut, perasaan Hamid bercampur antara perasaan sedih dan
gembira. Sedih karena Zainab menderita batin
dan fisik yaitu menjadi sangat kurus dan kecil. Gembira karena Zainab
mencintainya juga. Artinya, cinta Hamid
tidak bertepuk sebelah tangan. Karena
Zainab tidak jadi menikah dengan pemuda pilihan Mak Asiah, besar kemungkinan
keinginannya untuk menikah dengan Zainab akan kesampaian. Kemudian, Hamid berencana akan pulang ke
kampung halamannya setelah menunaikan ibadah Haji terlebih dahulu. Pada saat itu, Hamid merasa lega. Ia tidak lagi putus asa akan hidupnya.
Sepuluh hari
sebelum menunaikan ibadah Haji, Saleh mengirim surat pada Rosna, isterinya. Dalam suratnya, ia menceritakan pertemuannya
dengan Hamid. Rosna memberikan surat
dari Saleh itu kepada Zainab. Ketika
membaca surat itu, badan Zainab gemetaran.
Betapa gembiranya hati Zainab saat mendengar kabar tersebut. Orang yang paling dicintainya, yang selama
ini tak diketahui dimana keberadaannya, telah ia temukan. Hatinya pun sangatlah lega dan bahagia. Semangat hidupnya bangkit kembali dan Zainab
ingin segera bertemu dengan orang yang dicintainya itu. Zainab lalu menulis surat balasan kepada
Hamid. Hamid menerima surat itu dengan
penuh sukacita.
Pada hari
yang ke delapan bulan Zu’lhijjah, Hamid akan berangkat untuk menunaikan ibadah
Haji. Semangatnya untuk menunaikan
ibadah Haji semakin menggelora agar segera bertemu dengan Zainab. Walaupun dalam keadaan sakit parah, Hamid
tetap bertekun. Namun setelah beribadah
di padang Arafah yang sangat panas, kondisi tubuhnya semakin melemah. Nafsu makannya menurun dan suhu badannya
tinggi. Ketika berangkat ke Mina, ia tak
sadar akan dirinya. Mukanya pun
sangatlah pucat dan badan Hamid sangat lemah.
Karena penyakit Hamid bertambah berat, Saleh mencarikan orang Badui
upahan yang biasanya menerima upah untuk mengangkat orang sakit. Tiba-tiba, seorang Syekh terburu-buru
mengantarkan sepucuk surat dari Sumatera.
Setelah dibuka, ternyata surat itu datang dari Rosna. Muka Saleh dan seorang temannya pun menjadi
pucat dan jantungnya berdebar-debar.
Surat itu menyatakan
bahwa Zainab telah wafat dan menceritakan kesabaran Zainab sebelum wafatnya dalam
pengharapan menunggu orang yang dicintainya.
Lima hari sebelum meninggal dunia, pagi-pagi sekali Zainab sudah bangun
dari tempat tidurnya. Mukanya lebih
jernih dari biasanya. Dengan senyumannya,
Zainab bercerita pada Rosna bahwa ia bermimpi melihat Ka’Bah dan diantara
orang-orang yang sedang tawaf, ia melihat Hamid yang sedang melambaikan
tangannya memanggil ia. Setelah hari
itu, Zainab tidak lagi banyak bicara.
Dokter juga sudah memeriksa. Pada
malam 9 Zu’lhijjah, panasnya naik dari biasanya. Kira-kira pukul 2 tengah malam, dipandangnya
Rosna dan Mak Asiah tenang-tenang.
Kemudian dilihatnya pula album foto yang ada di atas meja tulisnya. Saat melihat foto Hamid, jatuhlah dua tetes
air mata dari matanya. Dipeluknya tangan
Rosna dan Mak Asiah dan dibawa ke dadanya.
Maka dengan berangsur-angsur laksana lampu kehabisan minyak, berpisahlah
badan dengan nyawanya.
Atas desakan
Hamid, akhirnya Saleh memberitahukan bahwa Zainab telah meninggal dunia. Hati Hamid terpukul setelah mendengar kabar
buruk tersebut. Hanya dengan imannya
yang kuat, ia masih mampu bertahan hidup.
Keteguhan Hamid untuk menyempurnakan ibadah Haji di Tanah Suci Mekah
telah menyebabkan Hamid kehilangan orang yang sangat dicintainya, yaitu
Zainab. Zainab meninggal karena
sakit-sakitan menahan rindu dalam pingitan.
Sesampainya
di hadapan Ka’Bah, Hamid diangkat dengan tandu oleh orang Badui itu. Sambil memegang kiswah dengan tangannya yang
sangat kurus itu, Hamid memanjatkan doa berulang-ulang. Setelah itu, suaranya tak terdengar
lagi. Mukanya terbayang suatu cahaya
yang jernih dan damai, cahaya keredaan Ilahi.
Di bibirnya terbayang suatu senyuman dan sampailah waktunya. Lepaslah ia dari tanggapan dunia yang maha
berat ini, dengan keizinan Tuhannya, di bawah lindungan Ka’Bah.
Setelah
nyata wafatnya, tidak beberapa lama kemudian, orang Badui itu memikul jenazah
Hamid ke rumah Syekh. Orang Badui itu
juga mengurusnya lalu membawanya sampai ke kuburan. Pada hari itu juga, jenazah Hamid dikubur di
perkuburan Ma’ala yang masyhur.
Kian lama
kian sunyilah Tanah Suci Mekah.
Bukit-bukit yang gundul itu tegak dengan teguhnya laksana pengawal yang
menyaksikan dan menjagai orang-orang Haji yang berjalan pulang ke kampungnya
masing-masing.
Sehari
sebelum meninggalkan Mekah, Saleh dan seorang temannya pergi berziarah ke
perkuburan Ma’ala, tempat Hamid dikuburkan.
Di sana, mereka menemukan nisannya.
Pukul 4 sore, Saleh dan temannya itu akan berangkat ke Jedah. Saleh berlayar dengan kapal yang menuju Mesir
bersama temannya itu memecahkan ombak dan gelombang menuju tanah air yang
tercinta.
vvv
Tidak ada komentar:
Posting Komentar