Selasa, 13 Oktober 2015

Mari Membaca Buku Sastra



Judul                            : Di Bawah Lindungan Ka’bah
Pengarang                    : Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Prof. Dr. Hamka)
Tahun Terbit                : 1979
Penerbit                        : Bulan Bintang, Jakarta
Cetakan ke                   : XIV
Kategori                       : Dewasa
Jenis Karangan             : Karya Sastra Indonesia
Bahasa                          : Bahasa Melayu
Alih Bahasa                  : -
Jumlah Halaman           : 80 Halaman
Jumlah Bab                   : 13 bab
Tebal Buku                   : 0,5 cm
Luas Buku                    : 150 cm2

Sinopsis 
Dikisahkan pada tahun 1927, ada seorang anak yang bernama Hamid.  Semasa ia berusia 4 tahun, ayahnya telah meninggal dunia.  Setelah ayahnya wafat, Hamid dan Ibunya masih dalam keadaan miskin melarat.  Rumah tempat Hamid dan Ibunya tinggal hanyalah sebuah rumah kecil yang tua.  Meskipun pada waktu itu Ibu Hamid masih muda, ada dua sampai tiga orang berpangkat yang meminta Ibu Hamid menjadi isterinya, Ibu Hamid tetap menolak dengan perasaan yang sangat terharu.  Hatinya masih belum lupa kepada almarhum Ayah Hamid.  Ibu Hamid berjanji kepada Hamid bahwa ia akan berusaha menyekolahkan Hamid di masa depan.
Setiap pagi, Hamid menjual pisang goreng.  Pada suatu hari, saat Hamid berkeliling lingkungan rumah sekitarnya, ada sebuah rumah besar berpekarangan yang cukup luas.  Rumah itu sudah lama tidak ada penghuninya, karena pemiliknya, seorang Belanda, sudah pulang ke Eropa.  Tiba-tiba, rumah itu diperbaiki kembali, karena telah dibeli oleh seorang saudagar yang bernama Haji Ja’far.
Pada suatu pagi, Hamid melewati rumah itu sambil membawa barang jualannya berupa pisang goreng.  Kemudian ia berseru menawarkan barang dagangannya itu.  Lama-lama tertariklah perempuan yang setengah tua itu hendak memanggil jualan Hamid.  Ternyata, perempuan itu adalah isteri dari Haji Ja’far yang bernama Mak Asiah.  Mak Asiah kemudian menanyakan Hamid tentang bagaimana kondisinya sekarang ini.  Lalau, Mak Asiah meminta Ibu Hamid untuk bertemu dengannya.  Meskipun Ibu Hamid malu-malu dan insyaf atas kerendahan derajatnya, Mak Asiah sama sekali tidak meninggikan dirinya. Bahkan Mak Asiah menganggap Ibu Hamid sebagai saudaranya sendiri.
Sejak saat itu, Hamid pun sangat leluasa untuk datang ke rumah otu.  Ia telah dianggap oleh Haji Ja’far sebagai anaknya sendiri.  Hamid juga mendapatkan seorang adik baru yaitu anak perempuan tunggal Haji Ja’far yang bernama Zainab. 
Pada suatu hari, Hamid menemui ibunya untuk memberitakan kabar gembira.  Haji Ja’far akan menyekolahkan Hamid di sekolah yang sama dengan Zainab.  Hamid dan Ibunya pun sangatlah gembira.  Cita-citanya telah tercapai.  Keesokan paginya, Hamid tidak lagi berjualan pisang goreng, melainkan pergi ke sekolah bersama Zainab.  Zainab sangat takut apabila ia tamat sekolah karena ia harus menjalani masa pingitan.
Saat yang ditakuti itupun datang.  Dengan hati riang bercampur masygul, Hamid terpaksa meninggalkan bangku sekolah.  Riang karena Hamid bisa pergi untuk melanjutkan sekolah keagamaan di Sumatera, masygul karena harus berpisah dengan teman-temannya.  Zainab sendiri, sejak tamat sekolah, hanya tinggal di rumah saja.  Didatangkan baginya guru dari luar untuk mengajarkan berbagai kegiatan yang biasanya dilakukan oleh perempuan seperti mencuci, menggosok, memasak, merenda, dan sebagainya. 
Beberapa bulan kemudian, Hamid mampir mengunjungi rumah Zainab.  Saat bertemu langsung dengan Zainab, Hamid menjadi bingung.  Ia tak tahu berkata apa.  Dahulu, Hamid tak pernah mempedulikan soal cinta.  Tapi, setelah ia besar dan berpisah dengan Zainab, ia merasa sangat kehilangan.  Hamid sering berpikir bahwa sangatlah mustahil apabila Zainab juga akan membalas cintanya, karena, Hamid insyaf bahwa ia hanyalah anak yang ditolong olehnya.  Oleh karena itu, ia memendam rasa cintanya pada Zainab di lubuk hati yang palin dalam.  Tapi, Hamid juga sering berpikir bahwa kemustahilan itulah yang sering kali memupuk cinta. 
Setelah beberapa kemudian, tak disangka, ada sebuah musibah yang menimpa keluarga Zainab.  Ayah Zainab, Haji Ja’far, meninggal dunia.  Belum beberapa lama setelah budiman itu menutup mata, Ibu Hamid terserang penyakit dada.  Setiap hari, Hamid menjaga ibunya yang berbaring sambil memegang tangannya.  Pada suatu saat, Ibu Hamid menegaskan Hamid bahwa Hamid cinta pada Zainab.  Hamid pun masih merasa hal itu sangat mustahil.  Beberapa hari kemudian, Ibu Hamid pun meninggal dunia dan Hamid menjadi sebatang kara.
Sejak ibunya meninggal dunia, Hamid jarang sekali datang ke rumah Zainab.  Pada suatu petang, Hamid diminta Mak Asiah untuk datang ke rumahnya.  Hamid pun bertemu dengan Zainab.  Tapi, lagi-lagi Hamid tidak mampu berkata apa.  Beberapa menit kemudian, Mak Asiah pun datang dan berbicara kepada Hamid.  Mak Asiah ingin menjodohkan Zainab dengan anak dari temannya almarhum Haji Ja’far.  Mak Asiah meminta bantuan Hamid untuk membujuk Zainab agar mau menikah.  Dengan berat hari, Hamid menerima tawaran itu. Ia lalu membujuk Zainab agar mau menikah.  Akan tetapi, Zainab menolak.  Zainab belum mau menikah.  Setelah itu, Hamid pulang.  Di jalan pulang, Hamid merasa badannya seberti terbayang-bayang, dan tanak yang dipijak terasa bergoyang-goyang.
Hamid telah putus asa atas hidupnya.  Kadang-kadang terlintas di dalam hati Hamid hendak membunuh diri.  Karena tidak sanggup menanggung beban hatinya, Hamid memutuskan untuk pergi meninggalkan kampungnya.  Dia meninggalkan Zainab dan dengan diam-diam pergi ke Medan.  Sesampainya di Medan, dia menulis surat kepada Zainab. Dalam suratnya, dia mencurahkan isi hatinya kepada Zainab.  Menerima surat itu, Zainab sangat terpukul dan sedih.  Dari Medan, Hamid melanjutkan perjalanan menuju ke Singapura. Lalu ia mengembara ke Bangkok, berlayar terus memasuki tanah-tanah Hindustan, dan dari Karakhi berlayar menuju ke Basrah, masuk ke Irak, melalui Sahara Nejd dan akhirnya sampailah Hamid di Tanah Suci Mekah.
Sewaktu berada di Tanah Suci Mekah, di bawah lindungan Ka’Bah yang suci, dan terpisah dari pergaulan manusia yang lain, Hamid memohon kepada Tuhan supaya ia bisa bersabar dan berteguh hati dalam menghadapi kehidupan.  Setiap malam, Hamid selalu duduk bertekun di dalam Mesjidil Haram dan memanjatkan doa pada Tuhan. 
Selama ditinggalkan oleh Hamid, hati Zainab menjadi sangat tersiksa.  Dia sering sakit dan semangat hidupnya terasa berkurang menahan rasa rindunya yang mendalam pada Hamid.  Begitu pula Hamid.  Ia selalu gelisah karena menahan beban rindunya kepada Zainab.  Untuk membunuh kerinduannya yang sangat mendalam itu, ia bekerja pada sebuah penginapan milik seorang Syekh.  Sambil bekerja, ia memperdalam ilmu agamanya dengan tekun.
Setahun telah berlalu.  Ketika musim naik Haji, banyak tamu yang menginap di tempat Hamid bekerja.  Di antara para tamu yang akan menunaikan ibadah Haji, Hamid bertemu dengan Saleh, teman Hamid sewaktu bersekolah agama.  Betapa gembiranya Hamid saat bertemu dengan sahabatnya itu.  Selain sebagai teman bermainnya pada masa lalu, istreri Saleh, Rosna, ternyata adalah sahabat Zainab.  Hamid mendapat banyak berita tentang kampungnya dan juga tentang keadaan Zainab.
Dari penuturan Saleh, Hamid mengetahui bahwa Zainab mencintainya juga.  Sejak Hamid meninggalkan Zainab dan kampungnya, Zainab sering sakit-sakitan.  Zainab menderita batin yang sangat mendalam.  Zainab sering bercerita pada Rosna tentang Hamid pada masa lalu.  Zainab mengatakan bahwa ia sangat mencintai Hamid meskipun banyak yang menertawakan ia.  Akhirnya, Zainab tidak jadi menikah dengan pemuda pilihan ibunya itu.  Akan tetapi, orang yang paling dicintainya yaitu Hamid telah pergi entah kemana.  Setiap hari, Zainab selalu menunggu kedatangan Hamid dengan penuh harap.
Mendengar penuturan Saleh tersebut, perasaan Hamid bercampur antara perasaan sedih dan gembira.  Sedih karena Zainab menderita batin dan fisik yaitu menjadi sangat kurus dan kecil. Gembira karena Zainab mencintainya juga.  Artinya, cinta Hamid tidak bertepuk sebelah tangan.  Karena Zainab tidak jadi menikah dengan pemuda pilihan Mak Asiah, besar kemungkinan keinginannya untuk menikah dengan Zainab akan kesampaian.  Kemudian, Hamid berencana akan pulang ke kampung halamannya setelah menunaikan ibadah Haji terlebih dahulu.  Pada saat itu, Hamid merasa lega.  Ia tidak lagi putus asa akan hidupnya. 
Sepuluh hari sebelum menunaikan ibadah Haji, Saleh mengirim surat pada Rosna, isterinya.  Dalam suratnya, ia menceritakan pertemuannya dengan Hamid.  Rosna memberikan surat dari Saleh itu kepada Zainab.  Ketika membaca surat itu, badan Zainab gemetaran.  Betapa gembiranya hati Zainab saat mendengar kabar tersebut.  Orang yang paling dicintainya, yang selama ini tak diketahui dimana keberadaannya, telah ia temukan.  Hatinya pun sangatlah lega dan bahagia.  Semangat hidupnya bangkit kembali dan Zainab ingin segera bertemu dengan orang yang dicintainya itu.  Zainab lalu menulis surat balasan kepada Hamid.  Hamid menerima surat itu dengan penuh sukacita. 
Pada hari yang ke delapan bulan Zu’lhijjah, Hamid akan berangkat untuk menunaikan ibadah Haji.  Semangatnya untuk menunaikan ibadah Haji semakin menggelora agar segera bertemu dengan Zainab.  Walaupun dalam keadaan sakit parah, Hamid tetap bertekun.  Namun setelah beribadah di padang Arafah yang sangat panas, kondisi tubuhnya semakin melemah.  Nafsu makannya menurun dan suhu badannya tinggi.  Ketika berangkat ke Mina, ia tak sadar akan dirinya.  Mukanya pun sangatlah pucat dan badan Hamid sangat lemah.  Karena penyakit Hamid bertambah berat, Saleh mencarikan orang Badui upahan yang biasanya menerima upah untuk mengangkat orang sakit.  Tiba-tiba, seorang Syekh terburu-buru mengantarkan sepucuk surat dari Sumatera.  Setelah dibuka, ternyata surat itu datang dari Rosna.  Muka Saleh dan seorang temannya pun menjadi pucat dan jantungnya berdebar-debar. 
Surat itu menyatakan bahwa Zainab telah wafat dan menceritakan kesabaran Zainab sebelum wafatnya dalam pengharapan menunggu orang yang dicintainya.  Lima hari sebelum meninggal dunia, pagi-pagi sekali Zainab sudah bangun dari tempat tidurnya.  Mukanya lebih jernih dari biasanya.  Dengan senyumannya, Zainab bercerita pada Rosna bahwa ia bermimpi melihat Ka’Bah dan diantara orang-orang yang sedang tawaf, ia melihat Hamid yang sedang melambaikan tangannya memanggil ia.  Setelah hari itu, Zainab tidak lagi banyak bicara.  Dokter juga sudah memeriksa.  Pada malam 9 Zu’lhijjah, panasnya naik dari biasanya.  Kira-kira pukul 2 tengah malam, dipandangnya Rosna dan Mak Asiah tenang-tenang.  Kemudian dilihatnya pula album foto yang ada di atas meja tulisnya.  Saat melihat foto Hamid, jatuhlah dua tetes air mata dari matanya.  Dipeluknya tangan Rosna dan Mak Asiah dan dibawa ke dadanya.  Maka dengan berangsur-angsur laksana lampu kehabisan minyak, berpisahlah badan dengan nyawanya.
Atas desakan Hamid, akhirnya Saleh memberitahukan bahwa Zainab telah meninggal dunia.  Hati Hamid terpukul setelah mendengar kabar buruk tersebut.  Hanya dengan imannya yang kuat, ia masih mampu bertahan hidup.  Keteguhan Hamid untuk menyempurnakan ibadah Haji di Tanah Suci Mekah telah menyebabkan Hamid kehilangan orang yang sangat dicintainya, yaitu Zainab.  Zainab meninggal karena sakit-sakitan menahan rindu dalam pingitan.
Sesampainya di hadapan Ka’Bah, Hamid diangkat dengan tandu oleh orang Badui itu.  Sambil memegang kiswah dengan tangannya yang sangat kurus itu, Hamid memanjatkan doa berulang-ulang.  Setelah itu, suaranya tak terdengar lagi.  Mukanya terbayang suatu cahaya yang jernih dan damai, cahaya keredaan Ilahi.  Di bibirnya terbayang suatu senyuman dan sampailah waktunya.  Lepaslah ia dari tanggapan dunia yang maha berat ini, dengan keizinan Tuhannya, di bawah lindungan Ka’Bah.
Setelah nyata wafatnya, tidak beberapa lama kemudian, orang Badui itu memikul jenazah Hamid ke rumah Syekh.  Orang Badui itu juga mengurusnya lalu membawanya sampai ke kuburan.  Pada hari itu juga, jenazah Hamid dikubur di perkuburan Ma’ala yang masyhur.
Kian lama kian sunyilah Tanah Suci Mekah.  Bukit-bukit yang gundul itu tegak dengan teguhnya laksana pengawal yang menyaksikan dan menjagai orang-orang Haji yang berjalan pulang ke kampungnya masing-masing.
Sehari sebelum meninggalkan Mekah, Saleh dan seorang temannya pergi berziarah ke perkuburan Ma’ala, tempat Hamid dikuburkan.  Di sana, mereka menemukan nisannya.  Pukul 4 sore, Saleh dan temannya itu akan berangkat ke Jedah.  Saleh berlayar dengan kapal yang menuju Mesir bersama temannya itu memecahkan ombak dan gelombang menuju tanah air yang tercinta.


vvv


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pikachu